Universitas LIA kembali menunjukkan komitmennya dalam memperkuat pemahaman lintas budaya dengan menyelenggarakan sebuah kegiatan bertajuk Dialog Interkultural: Kuliner Jepang di Mata Generasi Z Indonesia pada tanggal 9 Mei 2025. Acara yang dibuka oleh Rektor UL, Assoc. Prof. Dr. Siti Yulidhar Harunasari, M.Pd. menghadirkan narasumber internasional, Prof. Yoshihiro Kubo, seorang pakar kuliner dan Guru Besar di Tsuji Culinary Institute, salah satu institusi kuliner terkemuka di Jepang.
Diselenggarakan secara hybrid di kampus Universitas LIA, dialog ini berhasil menjembatani partisipasi langsung dan daring dari kalangan akademisi, mahasiswa, serta pemerhati budaya Jepang di Indonesia. Dengan format yang interaktif, peserta dapat berdiskusi langsung dengan narasumber, baik secara fisik di kampus Universitas LIA maupun melalui platform virtual yang disediakan.
Turut hadir dalam kegiatan ini adalah Dr. Diah Madubrangti, M.Si., pakar bahasa dan budaya Jepang yang juga merupakan Tenaga Ahli Rektor di Universitas LIA. Keikutsertaan beliau memberikan perspektif akademis yang memperkaya diskusi lintas disiplin antara dunia kuliner dan studi budaya.
Dialog ini membahas secara mendalam mengenai karakteristik kuliner Jepang, mulai dari filosofi penyajiannya, pengaruh sejarah dan geografi terhadap bahan makanan, hingga nilai-nilai estetika yang melekat dalam setiap hidangan. Lebih jauh, Prof. Kubo menjelaskan bagaimana kuliner Jepang berkembang dalam konteks global, serta bagaimana preferensi identitas dan gaya konsumsi Generasi Z Indonesia memainkan peran dalam penerimaan serta transformasi kuliner Jepang di luar negeri.
Salah satu fokus utama dalam diskusi ini adalah proyeksi masa depan kuliner Jepang, khususnya di tengah arus globalisasi dan semakin intensifnya pertukaran budaya. Prof. Kubo mengungkapkan bahwa masakan Jepang di masa mendatang tak hanya mempertahankan nilai-nilai tradisional, tetapi juga akan mengalami adaptasi yang dipengaruhi oleh selera internasional, termasuk dari negara-negara seperti Indonesia yang memiliki keunikan budaya dan preferensi rasa tersendiri.
Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan kritis dan menarik yang diajukan dalam sesi diskusi. Beberapa di antaranya adalah, “Bagaimana pengaruh media sosial terhadap popularitas makanan Jepang di kalangan Gen Z?”, “Apakah kuliner Jepang akan tetap mempertahankan keasliannya di tengah budaya global?”, serta “Strategi apa yang digunakan Jepang untuk menarik minat generasi muda internasional terhadap makanan tradisional mereka?”.
Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa kuliner dapat menjadi jembatan efektif dalam membangun pemahaman lintas budaya. Melalui dialog semacam ini, Universitas LIA berharap dapat memperkuat apresiasi mahasiswa terhadap kebudayaan global, sekaligus mendorong munculnya riset dan kolaborasi yang lebih luas di bidang kuliner, budaya, dan pendidikan internasional. (Humas & Marketing Universitas LIA)